Resensi Novel Salah Asuhan

Judul Resensi  : Antara Adat Kebudayaan dan Perasaan
Judul Buku      : Salah Asuhan
Pengarang       : Abdul Moeis
Penerbit           : Balai Pustaka
Kota Terbit      : Jakarta
Tahun Terbit    : Cetakan ketiga puluh sembilan, 2009
Tebal buku      : 273 halaman
Nomor ISBN : 979-407-064-5



Novel “Salah Asuhan” menceritakan tentang Hanafi, seorang bumiputera yang terjebak dalam adat dan kebudayaan Belanda. Lama bersekolah di sekolah Belanda dan bergaul dengan orang-orang Belanda membuat Hanafi selalu menganggap buruk adat budayanya sendiri. Persoalan tentang perbedaan adat budaya timur dengan barat itu sudah menjadi topik utama perbincangan Hanafi dan Corrie, orang barat yang merupakan sahabat sekaligus gadis yang dicintainya. Tak jarang mereka berselisih pendapat mengenai hal itu.
Suatu hari, Hanafi menyatakan perasaannya pada Corrie. Corrie menjadi kebingungan dibuatnya. Bukan hanya soal apakah ia mencintai Hanafi atau tidak, tetapi soal perbedaan adat budaya mereka. Ayah Corrie yang pernah menjalani pernikahan dengan seorang bumiputera, tidak setuju jika Corrie mengikuti jejaknya itu. Beliau tahu ada banyak hal sulit yang akan menimpa putrinya jika pernikahan itu terjadi. Corrie sangat menyayangi ayahnya dan menghormati nasehatnya. Selain itu, meskipun Corrie juga memendam rasa yang sama dengan Hanafi, Corrie merasa bahwa hubungannya dengan Hanafi lebih baik sebatas hubungan kakak dan adik saja. Setelah menulis surat penjelasan kepada Hanafi tentang penolakannya, Corrie meninggalkan Solok dan pergi ke Betawi.
Kepergian Corrie membuat Hanafi uring-uringan. Hal ini membuat ibunya khawatir. Setelah Hanafi mulai tenang, ibu Hanafi membicarakan tentang perjodohan Hanafi dengan anak mamaknya, Rapiah. Hanafi yang berperangai kasar itu langsung menolak mentah-mentah. Kemudian ibunya menjelaskan bahwa mereka telah berutang pada mamaknya. Mamaknya telah membiayai sebagian kebutuhan penting Hanafi dan tidak ingin dibalas dengan uang melainkan dengan pernikahannya dengan Rapiah. Kalau bukan karena sayang pada ibunya, Hanafi tidak akan menyetujui pernikahan itu.
Dua tahun kehidupan rumah tangganya dengan Rapiah, Hanafi tidak pernah sekalipun menganggap Rapiah sebagai istrinya. Ia tidak mempedulikan Rapiah bahkan anaknya, Syafei pun tak diurusnya. Rapiah yang bernasib menyedihkan itu akhirnya menjadi sangat dekat dengan ibu Hanafi layaknya seorang ibu dan anak kandung. Ibu Hanafi bahkan merasa bahwa dirinya lebih suka jika Rapiah adalah anak kandungnya dan bukan Hanafi.
Suatu ketika, tangan Hanafi digigit anjing dan harus dirawat di Betawi. Pergilah Hanafi ke Betawi untuk tiga minggu. Tapi ternyata lebih dari itu, karena di sana ia bertemu kembali dengan Corrie yang baru ditinggal mati ayahnya. Setelah Hanafi mendapatkan persamaan hak seperti orang Belanda dan pindah kerja ke Departemen BB, ia menulis surat yang menyatakan bercerai dengan Rapiah. Corrie yang merasa hampa setelah ditinggal ayahnya, menjadikan Hanafi sebagai pengganti ayahnya dan setuju untuk menikah dengan Hanafi.
Tak seperti yang diinginkan Hanafi, rumah tangganya dengan Corrie sama sekali tak bahagia. Corrie merasa terkekang setelah bersuamikan Hanafi. Sikapnya berubah apalagi setelah dirinya dan Hanafi disisihkan dari pergaulan. Puncaknya ketika Tante Lien datang ke rumah mereka ketika Hanafi sedang tidak ada, Hanafi menuduh Corrie berselingkuh setelah melihat abu rokok bekas Tante Lien. Corrie tidak tahan lagi dan memutuskan untuk bercerai dengan Hanafi lalu pergi ke Semarang. Tak lama setelah itu, Hanaafi sadar atas kesalahannya dan pergi menyusul Corrie. Namun, ia mendapati Corrie sedang sakit kolera dan akhirnya meninggal.
Hanafi pulang ke Padang, tempat ibunya dan Rapiah berada. Tapi ia masih tidak diterima. Bahkan Rapiah dan Syafei pulang ke Bonjol sebelum Hanafi berbicara lebih banyak kepada mereka. Hanafi memang tidak mencintai Rapiah, tetapi ia merasa bersalah kepada mantan istrinya itu. Sejak kepergian Corrie, Hanafi menjadi murung dan pendiam. Ibunya pun tak ingin bertanya dan mengungkit masa lalu. Kemudian Hanafi diajak kembali ke Koto Anau dan memulai kehidupan baru di sana.
Hanafi merenungkan apa yang telah dilakukannya selama ini. Ia merasa sangat tidak berguna terutama bagi ibunya. Ia hanya membuat orang-orang di sekelilingnya sakit hati. Diam-diam, Hanafi meminum beberapa butir sublimat. Hingga keesokan harinya, tubuhnya lemas. Hanafi dibawa ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa waktu yang Hanafi miliki terlalu singkat untuk menyembuhkannya. Hanafi memilih untuk tidak melakukan pengobatan lain dan akhirnya meninggal dunia. Hanafi dikuburkan di Solok setelah sempat menimbulkan perselisihan karena warga Koto Anau tidak menghendaki Hanafi yang sudah ‘masuk’ Belanda dikuburkan di kuburan kampung melainkan di kuburan orang Eropa.


Novel ini merupakan sebuah bacaan menarik yang sangat inspiratif. Karena, novel ini memperlihatkan benturan kebudayaan, yaitu antara nilai-nilai kebudayaan Timur dan Barat. Dalam novel ini, Abdul Moeis bertujuan untuk mengingatkan kita agar tidak berperilaku kebarat-baratan dan tidak melupakan adat dan budaya Negara kita. Namun disisi lain, novel ini banyak mengunakan bahasa yang sulit dimengerti sehingga pembaca merasa agak kesulitan dalam memahami isi cerita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Bahasa Indonesia kelas IX KD 3.12 dan 4.12

Makalah MUQOMAT : ZUHUD, TAUBAH, WARA, KEFAKIRAN, SABAR, TAWAKKAL, DAN KERELAAN

LAPORAN HASIL WAWANCARA “Tradisi Megengan di Desa Lemah Putih, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang”