Makalah MUQOMAT : ZUHUD, TAUBAH, WARA, KEFAKIRAN, SABAR, TAWAKKAL, DAN KERELAAN


BAB I
PENDAHULUAN

Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Kaitannya dengan manusia, aspek ini lebih menekankan pada asepk kerohanian dari pada aspek jasmaninya. Sedangkan kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan pada kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia. sedangkan kaitannya dalam pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan padda aspek eksoterik, lebih menekankan pada penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. (Kartanegara : 2006 : 2).
Ilmu tasawuf  lebih dikenal dengan ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah.  Digunakan para sufi untuk menemukan jalan serta mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Beberapa pelopor ilmu tasawuf  yang termasyhur ialah Imam besar Al Ghozali, Maulana Jalaludin Ar-Rumi, Ibn Arabi, Al Quraisy dan lain-lain.
Pada pembahasan di makalah ini akan menjelaskan tentang Muqomat atau tangga, kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Adapun Muqomat yang akan dijelaskan dalam pembahasan maklah ini diantaranya adalah Taubah, zuhud, Wara’, Kefakiran, Sabar, Tawakkal, dan Kerelaan.
Beberapa versi Muqomat  memang banyak, seperti muqomat versi al- Kalabadi, versi Al Qusyairi, Versi Al Ghazali dan lain-lain. Namun dalam hal ini penulis hanya akan membahasa secara umum apa itu muqomat dan beberapa jalan muqomat yang telah disebutkan di atas.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muqomat

Muqomat adalah jamak dari kata ‘maqam’ yang berarti tahapan  atau tingkatan perjalanan spiritual seorang sufi untuk menuju Tuhannnya. Perjalanan ini hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan  melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser ke maqom satu menuju maqom selanjutnya.
Setiap sufi maqomat yang ditempuh akan berbeda-beda. Nama serta urutan maqomat dari seorang sufi berbeda. Ada yang memulainya dari maqam taubah, dan mengakhirinya dengan maqom ma’rifat, seperti Al-Kalabdzi. Adapula yang mengawali dengan Taubah dan mengakhirinya dengan ridha seperti yang dilakukan oleh Al- Ghozali. Demikian pula dengan jumlah maqomat yang mereka lalui, ada yang menyebutkan sepuluh maqomat, tujuh atau bahkan hanya enam maqomat.
1.      Zuhud (Al- zuhd)
Zuhud adalah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemauan keapadaNya sehingga lebih sibuk denganNya dari pada kesibukan-kesibukan selain denganNya. (Natsir:2011:172)
Sedangkan menurut Al Ghozali dalam Kartanegara (2002:199) mengatakan bahwa zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan. Kemulyaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena keakrabannya dengan Allah SWT.
Jadi dapat diambil kesimpulan secara sederhana zuhud adalah menghilangkan ketergantungan terhadap dunia, tidak mencari-cari sesuatu yang bukan miliknya, di dalam hati tidak menghendaki dunia dan tidak berusaha mendapatkannya. Dengan begitu akan menjadikan ketenangan lahir dan batin seorang Zahid terasa lapang, dan lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah.


2.      Taubah (Al-Thaubah)
Taubah menurut Sofwan dalam terjemah Minhajul Abidin (2002: 35) adalah salah satu pekerjaan hati, dan penyesalan dari dosa yang pernah dilakukannya, serta tidak mengulang dosa yang telah lalu dengan tidak melakukan dosa sederajatnya. Menurut pengertian lain taubah adalah bangkitnya psikologi manusia yang melahirkan kesadaran terhadap segala kekurangan atau kesalahannya dan menetapkan tekad yang disertai amal perbuatan untuk memperbaikinya.
Taubah menurut Al Qusyairi adalah kembali, ia bertaubat artinya ia kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji dan diridhai olehNya.
3.      Wara (Al Wara)
Wara’ menurut Abu ‘Ali Daqqaq dalam Kartanegara (2006: 192) mengatakan bahwa warai ialah meninggalkan apapun yang Syubhat, atau meninggalkan sesuatu yang meragukan. Segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun yang berlebihan. Para sufi pula mengatakan bahwa wara’ adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu persoalan, baik yang bersifat materi maupun nonmateri yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya, lebih baik untuk dihindari atau meninggalkan. (Solihin:2008:80).
4.      Kefakiran (Al Faqr)
Secara harfiah diartikan sebagai orang yang berajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Jadi faqr (kefakiran) bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Ini juga bermakna bahwa faqr (kefakiran) itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Allah. Dalam pandangan al-Ghazali, Faqr (kefakiran) adalah hilangnya apa-apa yang dibutuhkan. Artinya ia benar-benar membutuhkan yang hilang itu. Seseorang, lanjut al-Ghazali, jika kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan maka bukan faqr (kefakiran) namanya.
Senada dengan al-Ghazali, ibn Qayyim juga memandang faqr sebagai senantiasa membutuhkan Allah dalam segala kedaan dan mengakui keunggulan segala apa yang ada di sisiNya dibanding dengan segala yang dimilikinya. Kemuliaan maqam faqr ini, menurut al-Sarraj, juga seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim al-Khawwas (w. 291 H) bahwa kefakiran merupakan selendang kemuliaan, pakaian para Rasul, jilbab (penutup) orang-orang yang saleh, mahkota orang-orang yang bertakwa, hiasan orang-orang yang beriman, harta kaum `arifin dan benteng orang-orang yang taat. Kefakiran juga, lanjut al-Khawwas, mampu menghapus segala dosa dan keburukan, mengagungkan segala kebaikan, mengangkat derajat, menyampaikan hingga tujuan akhir, menjadi ridha bagi Yang Maha Memaksa (al-Jabbar), menjadi karamah para wali, ia juga merupakan lambang bagi orang-orang yang saleh.
5.      Sabar (Al Sabr)
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala seuatu yng kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan Manusia. (Nata:2011:200).
Dalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai. Bahri (2005:67-68) menuliskan hadits Nabi yang berbunyi, “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaan tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah.” (HR. Al-Tirmidzi).
6.      Tawakal
Tawakal secara etimologi artinya bersandar atau mempercayakan diri. Dalam etimologi tasawuf, tawakal biasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. (Al Ghozali: 2014:332) Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakkal.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, tawakkal bukan pada kedalamannya namun pada kulit luarnya. Hal tersebut disebabkan pembicaraan tentang kedalaman makna tawakkal ada pada pengalaman pribadi masing-masing sufi. Al-Qardhawi mendefinisikan tawakkal dari makna dasarnya, yaitu menyerahkan dengan sepenuhnya. Dengan demikian, seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan-Nya.
Menurut Al-Ghazali tawakkal terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut.
a.       Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat seseorang menyerahkan perkataanya kepada pengacara yang sepenuhnya dipercayakan menanganinya dan menenangkannya.
b.      Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat bayi menyerahkan diri kepada ibunya.
c.       Derajat tawakkal tertinggi, yaitu tawakkal atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, ibarat jenazah di tengah petugas yang memandikannya.
7.      Ridha (Al Ridha)
Ridha ialah menerima anugerah Allah dengan ikhlas atau puas dan tulus menerima ketentuan Ilahi. orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Terlebih lagi, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepada nya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’arif dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
Menurut Abdul Halim mahmud, ridha mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akhirnya dengan cara apa pun yang disukai Allah.
Ridha kepada Tuhan adalah pohon dari segala pelajaran yang kita terima dalam kehidupan ini. Ridha dalam hal ini menurut ahli pendidikan timbul dari ‘athifah yaitu perasaan halus (emosi). Ridha menerima kekayaan dan kemiskinan, umur panjang dan pendek, badan sehat dan sakit; semua tidak ada perbedaan karena memang ia telah ridha kepada ketentuan Allah. Dalam kedudukan ini, sang pecinta senantiasa ridha dan puas dengan apa yang dilakukan oleh kekasih. Akan tetapi, mausia sejati hanya puas dan ridha dengan Allah sendiri.


Orang yang mencapai ridha, telah tiba pada jiwa yang ridha (an-nafs ar-radhiyyah). Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, tanda-tanda orang yang telah ridha adalah
a.       Mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan;
b.      Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan;
c.       Cinta yang bergelora di kala turunnya malapetaka.























BAB III
PENUTUP
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa maqomat ialah tingkatan atau stasiun dari maqom-maqom yang ditempuh para sufi. Maqom ialah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan para sufi urutan maqom berbeda-beda. Sebagian merumuskan maqom dengan sederhana, sebagian ada yang mendetail untuk merumuskannya.
Misalnya,  Al-Kalabdzi dalam bukunya At-Ta’aruf  li Mazhab At-Tasawuf menjadikan toba sebagai kuci ketaantan, kemudian zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, khauf, takwa, ikhlas, syukur, tawakkal, rida, yakin, uns, qarb, dan mahabbah. Lain lagi dengan Al-Qusyairi, dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah Al-Qusyairiyah. Bahwa ia memberikan urutan maqom sebagai berikut: tobat, mujahadah, khalwat, uzlah, takwa, wara’, zuhud, khauf, raja’, qanaah, tawakkal, syukur, sabar, muroqobah, rida, ihklas, dzikir, faqr, mahabbah, dan syauq.
Sedangkan apa yang dirumuskan oleh Al Ghozali lebih sedikitlagi. Ia merumuskan maqom seperti berikut: tobat, sabar, syukur, khauf, dan raja’ tawakkal, mahabbah, ridha ikhlas, muhasabah, dan muroqobah. sementara itu, Asy-Skuhrawardi dalam bukunya Al Awarif Al Ma’arif merumuskan maqam, sebagai berikut: tobat wara’, zuhud, sabar, faqr, syukur, khauf, tawakkal, dan ridha.
Pada hakikatnya sama, berbagai macam maqom yang ditempuh oleh para sufi memang berbeda, namun satu tujuannya ialah untuk menjadikan satu raganya disisi Allah SWT. Mendekatkan diri serta menikmati ketentraman bersama Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Bahasa Indonesia kelas IX KD 3.12 dan 4.12

LAPORAN HASIL WAWANCARA “Tradisi Megengan di Desa Lemah Putih, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang”