Pendekatan Struktural dalam Novel Salah Asuhan



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                        Karya sastra merupakan cerita berupa tafsiran atau imajinasi pengarang tentang peristiwa yang pernah terjadi dalam khayalan saja, akan tetapi sastra mengandung unsur kehudupan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan perasaan penikmatnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Semi(1993:81) bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif dan objeknya adalah manusiadan kehidupannya dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
                        Mutu karya sastra sangat dipengaruhi oleh watak atau karakter tokoh karena mutu sebuah karya sastra yang baik ditentukan oleh kemahiran pengaranng menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Selain itu aspek tokoh dalam fiksi merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Dalam membaca atau menganalisis suatu karya fiksi, kita sering tidak selalu butuh pertanyaan apa yang kemudian terjadi, tetapi kita seringkali mempertanyakan peristiwa apa yang terjadi kemudian, bagi atau menimpa siapa saja.
                        Dalam memahami karya fiksi, tokoh utama sangat penting karena orang dapat menelusuri cerita dengan mengikuti gerak laku tokoh utama cerita. Dalam penciptaan sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca karena pada hakikatnya pengarang mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
                        Untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, perlu adanya proses membaca dan memahami makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra baik secara tersurat maupun tersirat.
                        Karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik Negara dan sebagainya. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa karya sastra tidak dapat dianggap sebagai refleksi dari kehidipan nyata. Lebih lanjut, Alan Swingewood mengatakan bahwa karay sastra adalah dokumen sosial budaya. Kemudian dia juga mengatakan bahwa status sosial dari seorang penulis akan memberikan pengaruhnya terhadap proses kreativitas pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, serta latar belakang sosial pengarang juga akan memberikan pengaruhnya dalam menginterpretasikan suatu peristiwa yang dijadikan dasar suatu cerita (umar jonas, 1986:40).  
                        Novel merupakan salah satu ragam prosa, di samping cerpen dan roman, selain puisi dan drama, di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokohtokohnya secara sistematik dan secara terstruktur. Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut (Ratna, 2006: 335-336).
                        Novel Salah Asuhan merupakan salah satu karya Abdoel Moeis yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1928. Novel ini memperlihatkan benturan kebudayaan, yaitu nilai-nilai tradisi dan modern, nilai-nilai Timur dan Barat. Kini ia menemukan relevansi barunya ketika kebudayaan Barat kian nyata menghegemoni kebudayaan kita. Salah Asuhan adalah tonggak sastra kontemporer pada zamannya. Ia memiliki tema aneh, dan barangkali dianggap lancang pada saat itu.
                        Berdasarkan paparan di atas, novel Salah Asuhan ini di analisis dengan pendekatan struktural karena dipandang memiliki struktur yang menarik. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti novel ini menggunakan salah satu pendekatan dalam analisis sastra, yaitu pendekatan struktural.

B.     Kajian Teori
Dalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2). Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32).       
Pendekatan struktural dapat pula disebut dengan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang berorientasi kepada karya sebagai jagad yang mandiri terlepas dari dunia eksternal di luar teks. Analisis ditujukan kepada teks itu sendiri sebagai kesatuan yang tersusun dari bagian-bagian yang terjalin dan analisis dilakukan berdasarkan pada parameter intrinsik sesuai dengan keberadaan unsur-unsur internal (Siswanto, 2005: 19).    Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya.
Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984).

Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa analisis struktural merupakan suatu penelitian terhadap unsur–unsur intrinsik yang membangun karya sastra dalam kaitan dan hubungannya dalam membentuk makna totalitas, jadi penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan struktural, yang terpenting adalah kaitan setiap unsurnya yang dapat membangun makna karya sastra tersebut.


PEMBAHASAN
A.    Identitas buku:
Judul Buku      : Salah Asuhan
Pengarang        : Abdul Moeis
Penerbit           : Balai Pustaka
Kota Terbit      : Jakarta
Tahun Terbit    : Cetakan ketiga puluh sembilan, 2009
Tebal buku       : 273 halaman
Nomor ISBN   : 979-407-064-5

B.     Sinopsis:
Novel “Salah Asuhan” menceritakan tentang Hanafi, seorang bumiputera yang terjebak dalam adat dan kebudayaan Belanda. Lama bersekolah di sekolah Belanda dan bergaul dengan orang-orang Belanda membuat Hanafi selalu menganggap buruk adat budayanya sendiri. Persoalan tentang perbedaan adat budaya timur dengan barat itu sudah menjadi topik utama perbincangan Hanafi dan Corrie, orang barat yang merupakan sahabat sekaligus gadis yang dicintainya. Tak jarang mereka berselisih pendapat mengenai hal itu.
Suatu hari, Hanafi menyatakan perasaannya pada Corrie. Corrie menjadi kebingungan dibuatnya. Bukan hanya soal apakah ia mencintai Hanafi atau tidak, tetapi soal perbedaan adat budaya mereka. Ayah Corrie yang pernah menjalani pernikahan dengan seorang bumiputera, tidak setuju jika Corrie mengikuti jejaknya itu. Beliau tahu ada banyak hal sulit yang akan menimpa putrinya jika pernikahan itu terjadi. Corrie sangat menyayangi ayahnya dan menghormati nasehatnya. Selain itu, meskipun Corrie juga memendam rasa yang sama dengan Hanafi, Corrie merasa bahwa hubungannya dengan Hanafi lebih baik sebatas hubungan kakak dan adik saja. Setelah menulis surat penjelasan kepada Hanafi tentang penolakannya, Corrie meninggalkan Solok dan pergi ke Betawi.
Kepergian Corrie membuat Hanafi uring-uringan. Hal ini membuat ibunya khawatir. Setelah Hanafi mulai tenang, ibu Hanafi membicarakan tentang perjodohan Hanafi dengan anak mamaknya, Rapiah. Hanafi yang berperangai kasar itu langsung menolak mentah-mentah. Kemudian ibunya menjelaskan bahwa mereka telah berutang pada mamaknya. Mamaknya telah membiayai sebagian kebutuhan penting Hanafi dan tidak ingin dibalas dengan uang melainkan dengan pernikahannya dengan Rapiah. Kalau bukan karena sayang pada ibunya, Hanafi tidak akan menyetujui pernikahan itu.
Dua tahun kehidupan rumah tangganya dengan Rapiah, Hanafi tidak pernah sekalipun menganggap Rapiah sebagai istrinya. Ia tidak mempedulikan Rapiah bahkan anaknya, Syafei pun tak diurusnya. Rapiah yang bernasib menyedihkan itu akhirnya menjadi sangat dekat dengan ibu Hanafi layaknya seorang ibu dan anak kandung. Ibu Hanafi bahkan merasa bahwa dirinya lebih suka jika Rapiah adalah anak kandungnya dan bukan Hanafi.
Suatu ketika, tangan Hanafi digigit anjing dan harus dirawat di Betawi. Pergilah Hanafi ke Betawi untuk tiga minggu. Tapi ternyata lebih dari itu, karena di sana ia bertemu kembali dengan Corrie yang baru ditinggal mati ayahnya. Setelah Hanafi mendapatkan persamaan hak seperti orang Belanda dan pindah kerja ke Departemen BB, ia menulis surat yang menyatakan bercerai dengan Rapiah. Corrie yang merasa hampa setelah ditinggal ayahnya, menjadikan Hanafi sebagai pengganti ayahnya dan setuju untuk menikah dengan Hanafi.
Tak seperti yang diinginkan Hanafi, rumah tangganya dengan Corrie sama sekali tak bahagia. Corrie merasa terkekang setelah bersuamikan Hanafi. Sikapnya berubah apalagi setelah dirinya dan Hanafi disisihkan dari pergaulan. Puncaknya ketika Tante Lien datang ke rumah mereka ketika Hanafi sedang tidak ada, Hanafi menuduh Corrie berselingkuh setelah melihat abu rokok bekas Tante Lien. Corrie tidak tahan lagi dan memutuskan untuk bercerai dengan Hanafi lalu pergi ke Semarang. Tak lama setelah itu, Hanaafi sadar atas kesalahannya dan pergi menyusul Corrie. Namun, ia mendapati Corrie sedang sakit kolera dan akhirnya meninggal.
Hanafi pulang ke Padang, tempat ibunya dan Rapiah berada. Tapi ia masih tidak diterima. Bahkan Rapiah dan Syafei pulang ke Bonjol sebelum Hanafi berbicara lebih banyak kepada mereka. Hanafi memang tidak mencintai Rapiah, tetapi ia merasa bersalah kepada mantan istrinya itu. Sejak kepergian Corrie, Hanafi menjadi murung dan pendiam. Ibunya pun tak ingin bertanya dan mengungkit masa lalu. Kemudian Hanafi diajak kembali ke Koto Anau dan memulai kehidupan baru di sana.
Hanafi merenungkan apa yang telah dilakukannya selama ini. Ia merasa sangat tidak berguna terutama bagi ibunya. Ia hanya membuat orang-orang di sekelilingnya sakit hati. Diam-diam, Hanafi meminum beberapa butir sublimat. Hingga keesokan harinya, tubuhnya lemas. Hanafi dibawa ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa waktu yang Hanafi miliki terlalu singkat untuk menyembuhkannya. Hanafi memilih untuk tidak melakukan pengobatan lain dan akhirnya meninggal dunia. Hanafi dikuburkan di Solok setelah sempat menimbulkan perselisihan karena warga Koto Anau tidak menghendaki Hanafi yang sudah ‘masuk’ Belanda dikuburkan di kuburan kampung melainkan di kuburan orang Eropa.

C.    Analisis Pendekatan Struktural (Unsur Intrinsik Novel Salah Asuhan)
1.      Tema
Tema yang terdapat pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis  mengenai perbedaan adat istiadat antara Eropa dan Pribumi.
Bukti: “Dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa sungguh longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan ... tetapi dalam pergaulan bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau kakaknya sendiri, sudah disebut janggal ...”(hal 3, paragraf 2).
2.      Alur
Alur yang terdapat pada novel ini alur maju.
Bukti: “Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya, iapun sudah dinikahkan dengan Rapiah.” (halaman 73, paragraf 1)

3.      Tokoh dan Perwatakan
a.       Hanafi wataknya sombong dan durhaka.
·         Sombong
“Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua.” (halaman 25, paragraf 2).
·         Durhaka
“Hanafi!Anakku, tahulah engkau apa hukuman anak yang durhaka pada ibunya?.” (halaman 93, paragraf 3)
b.      Corrie wataknya baik dan mudah bergaul.
·         Baik
“Kepada suamiya tak sekali-kali kekurangan tentang adab dan tertib atau ramah tamahnya.” (halaman 162, paragraf 4).
·         Mudah bergaul
“Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas”, kata Corrie sambil tertawa, “buat menempatkan dua tiga orang perempuan saja masih berlapang-lapang.” (halaman 7, paragraf 4).
c.       Rapiah wataknya sabar dan apa adanya.
·         Sabar
 “Rapiah tunduk tidak menyahut, hanya air matanya saja yang berhamburan.” (halaman 86, paragraf 5).
·         Apa adanya
“Rapiah memang sudah kehilangan gentar atau malu, memperlihatkan rupa secara itu ke muka sahabat-sahabatnya.” (halaman 86, paragraf 2).

d.      Ibu Hanafi wataknya sabar dan pemaaf.
·         Sabar
“Astagfirullah, Hanafi! Turutkanlah ibumu mengucap menyebut nama Allah, supaya lapang bumi Allah bagimu dan tidak akan bertutur lagi dengan sejauh itu tersesatnya.” (halaman 89, paragraf 8).
·         Pemaaf
“Ya, Anakku! Sudah lama engkau aku ampuni.” (halaman 272, paragraf 3).

e.       Tuan du Busse wataknya pemberani dan tegas.
·         Pemberani
“Yang amat disukai oleh Tuan du Bussee ialah berburu harimau.” (halaman 10, paragraf 4).
·         Tegas
“Tapi Corrie mesti bersekolah yang sepatut-patutnya. Pusaka yang akan ditinggalkan buat anaknya tidaklah berarti, haruslah anak itu memperoleh ilmu dunia yang setinggi-tingginya ... ” (halaman 11, paragraf 5).
f.       Syafei wataknya polos,
“Syafei memandang dengan mata yang berkilau-kilauan kepada sekalian balon yang disisip-sisipkan pada sebilah pelapah enau, berkata dengan gembira dan melupakan segala ketakutan, “yang merah-yang merah.” (halaman 246, paragraf 8)
g.      Si Buyung wataknya penurut,
“Si Buyung menolak kereta itu sampai ke dapur, lalu menceritakan apa yang diperintahkan kepadanya.” (halaman 84, paragraf 7)
4.      Latar (Setting)
a.       Latar tempat
·         Lapangan tennis
“Tempat bermain tennis yang dilindunginya oleh pohon-pohon sekitarnya, masih sunyi”. (hal 1, paragraf 1)
·         Solok, Minangkabau
 “Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya.” (halaman 24, paragraf 4).
·         Bonjol
“Ibu Rapiah hanya kuat sebulan menunggui anaknya di rumah Hanafi. Sesudah itu kembalilah ia ke Bonjol dengan hati yang amat sedih.” (halaman 77, paragraf 3).
·         Betawi
“Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat ke Betawi.” (halaman 96, paragraf 4).
·         Semarang
“ Sepanjang jalan ke Semarang Hanafi bersandar saja di atas bangku kereta api, serta menutupkan matanya.” (halaman 225, paragraf 6).
·         Rumah Sakit
“Maka bangkitlah Hanafi dari duduknya, lalu menghambur ke luar, menaiki oto yang masih menanti, lalu berseru sekeras-kerasnya kepada supir,” Ayoh!Ke Rumah Sakit Paderi, lekas sekali!” (halaman 228, paragraf 6).
b.      Latar waktu,
·         Tengah 5 petang hari
“Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di tempat bermain itu, masih keras, karena dewasa itu baru pukul tengah 5 petang hari.” (halaman 1, paragraf 1).
·         Malam
“Semalam-malaman itu Corrie tidak merasa tidur nyenyak” (halaman 34, paragraf 1).
·         Petang
“Pada petang itu mereka sedang duduk bersenda gurau di dalam kebun Hanafi, tempat Hanafi menerima kedatangan Corrie dahulu, sebelum datang kawan-kawan yang hendak bermain.” (halaman 82, paragraf 2)
c.       Setting Suasana:
·         Perselisihan
“Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputra saja, Corrie! Janganlah kau ulang-ulang juga.” (halaman 3, paragraf 1).
·         Bahagia
“Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas,”kata Corrie sambil tertawa,”buat menempatkan dua tiga orang perempuan saja masih berlapang-lapang.” (halaman 7, paragraf 4).
·         Sedih
“Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan.” (halaman 25, paragraf 6).
·         Cemas
“Ibunya melihat keadaan serupa itu dengan kecemasan hati. Orang tua itu bukan tak arif, bahwa anaknya di dalam beberapa hari yang akhir ini berperangai luar biasa.” (halaman 53, paragraf 3).
·         Penuh emosi
“Sampai kering kerongkonganku memanggil si Buyung, seorangpun tidak menyahut!” kata Hanafi sambil membelakakan matanya kepada istrinya.” (halaman 83, paragraf 4).
5.      Amanat
Amanat yang dapat diambil dari novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis yaitu ketika sudah mempunyai ilmu yang tinggi dan wawasan yang luas, kita tidak boleh  bersikap sombong dan meremehkan orang lain. Karena sifat sombong itu tidak akan membuat kita hebat. Tapi justru akan membohongi diri kita karena sudah merasa hebat, hingga akhirnya kesombongan itu akan menjatuhkan diri kita sendiri. Kita tidak boleh durhaka kepada orang tua karena biar bagaimanapun juga kasih sayang seorang ibu tak kan ada batasnya, ia akan tetap mencintai anaknya meskipun dalam keadaan salah.



PENUTUP
SIMPULAN
           Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa   karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik Negara dan sebagainya. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa karya sastra tidak dapat dianggap sebagai refleksi dari kehidipan nyata.
            Novel Salah Asuhan merupakan salah satu karya Abdoel Moeis yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1928. Novel ini memperlihatkan benturan kebudayaan, yaitu nilai-nilai tradisi dan modern, nilai-nilai Timur dan Barat. Kini ia menemukan relevansi barunya ketika kebudayaan Barat kian nyata menghegemoni kebudayaan kita. Salah Asuhan adalah tonggak sastra kontemporer pada zamannya. Ia memiliki tema aneh, dan barangkali dianggap lancang pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Joko. 1984. Kesusastraan Indonesia Modern : Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, Jan Van, Meikel Basl, Willem G Westeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko), Jakarta: Gramedia.
Satoto, Soediro. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.
Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Bahasa Indonesia kelas IX KD 3.12 dan 4.12

Makalah MUQOMAT : ZUHUD, TAUBAH, WARA, KEFAKIRAN, SABAR, TAWAKKAL, DAN KERELAAN

LAPORAN HASIL WAWANCARA “Tradisi Megengan di Desa Lemah Putih, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang”